Hyperinflasi terjadi bila otoritas moneter suatu negeri mencetak uang terus menerus tanpa dibarengi dengan pertumbuhan yang proporsional terhadap produksi barang dan jasa. Perilaku demikian tidak hanya terjadi di negara yang tegolong terbelakang seperti Zimbabwe yang harus membuang 12 angka nol dari uang lamanya 2 Februari 2009 lalu karena inflasi tahunan negeri itu mencapai 89.7 sextillion (1021) percent atau 89,700,000,000,000,000,000,000; tetapi bisa terjadi di mana saja – termasuk di negara adikuasa sekalipun.
Hal ini dapat kita tengok dari sejarah abad lalu ketika terjadi inflasi besar-besaran di salah satu negara adikuasa pada jamannya.
Pada akhir 1923 misalnya, pemerintahan Weimar Republic of Germany mengeluarkan uang dengan nominal 100,000,000,000,000 (seratus trilyun) – yang saat itu nilainya kurang lebih hanya setara US$ 25,-. Begitu buruknya inflasi negeri itu, sampai orang yang akan membeli roti harus membawa kereta dorong – bukan untuk membawa rotinya tetapi untuk membawa uangnya.
Pasca Perang Dunia II; inflasi di Hungaria pernah mencapai 41,900,000,000,000,000% (4.19 × 1016% atau 41.9 quadrillion percent), sampai-sampai pada pertengahan 1946 harga barang-barang di negeri itu naik berlipat dua kalinya setiap 13.5 jam. Pekerja yang habis menerima gaji harus berlari cepat-cepat membelanjakan uangnya karena bila tidak uang mereka segera basi – rusak daya belinya.
Apa yang bisa kita tarik dari ketiga kejadian tersebut sesungguhnya ?, bahwa dalam situasi hyperinflasi – uang kertas benar-benar kehilangan maknanya. Lantas apa yang bisa menjadi ukuran atau takaran yang tetap akurat untuk menentukan harga saat itu ?. Apalagi kalau bukan emas atau perak.
Perhatikan grafik dibawah untuk kasus Jerman tersebut diatas yang datanya tersimpan dengan baik. Selama sepuluh tahun sebelum hyperinflasi terjadi sampai puncak hyperinflasi, wholesale price index negeri itu naik sampai 1,000,000,000,000,- atau satu trilyun kali-nya. Tetapi kenaikan harga-harga ini bila diukur dengan emas – hanya ber-fluktuasi stabil di rentang angka 0.6 – 1.6 atau hanya naik turun karena mekanisme pasar supply & demand semata.
Fungsi emas dan perak sebagai proteksi nilai yang adil terbukti efektif ketika hyperinflasi yang paling parah sekalipun terjadi. Perhatikan grafik kedua dibawah yang menunjukkan kenaikan harga emas dan perak pada tahun-tahun hyperinflasi di Jerman tersebut diatas.
Saat ini kita memang tidak hidup di era hyperinflasi, namun dunia seperti tersandera oleh reserve currency global yang benama US$. Siapa yang percaya bahwa perilaku otoritas moneter negeri itu tidak akan membawa bencana financial global – padahal mereka sudah dua kali dengan cerdiknya mencetak uang dari awang-awang dalam jumlah yang sangat besar – terus diberi nama yang indah quantitative easing ?.
Belajar dari apa yang terjadi di Jerman abad lalu dengan lonjakan harga tersebut, siapa yang bisa menjamin bahwa Ben Bernanke-nya the Fed Amerika tidak akan menjerumuskan warga dunia ke era yang kurang lebih sama ?. Kalau di Amerika sendiri sampai ada National Inflation Association (NIA) yaitu lembaga swadaya masyarakat yang tujuannya adalah menyiapkan warga Amerika untuk siap menghadapi hyperinflasi; lantas kita yang tidak tahu menahu dan sama sekali tidak harus terkait dengan Amerika dan uang Dollar-nya masak mau jadi korbannya begitu saja. wallohu a'lam
written by muhaimin iqbal www.geraidinar.com
0 comments:
Post a Comment